Dibandingkan letusan Gunung Tambora di Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) pada 1815, letusan Gunung Krakatau masih kalah besar, baik kekuatan maupun dampaknya.
Berbeda dengan letusan Tambora yang terekam samar dan dampak globalnya baru dideteksi lebih dari 100 tahun kemudian, letusan Krakatau diketahui warga dunia dalam bilangan jam.
Dampak letusan Tambora baru diketahui ketika peneliti di kantor meteorologi Amerika Serikat, WJ Humphreys, pada tahun 1930-an menemukan hubungan antara cuaca buruk di dunia Barat pada 1816 dan letusan Gunung Tambora. Adapun letusan Krakatau telah menjadi berita utama di koran-koran di Eropa tak lama kemudian.
Tsunami yang menyebar luas ke berbagai penjuru dunia pada 27 Agustus 1883 juga terdeteksi dengan cepat bahwa sumbernya Krakatau. Sepanjang tanggal 27 Agustus dan sehari setelahnya, telegram dari Batavia (Jakarta)—160 km dari Krakatau—berkali-kali dikirim ke Singapura. Dari sana kabar kemudian menyebar jauh hingga Inggris.
Bunyi telegram menyebutkan kepanikan suasana di Jakarta waktu itu. "Batavia saat ini hampir gelap gulita—lampu gas menyala sepanjang malam—tak dapat berkomunikasi dengan Anjer (Anyer)— beberapa jembatan hancur, sungai-sungai meluap karena gelombang laut yang menuju daratan," demikian isi telegram yang dikirim pada sore hari, 27 Agustus.
Kemudian, pukul 11.00 pada 28 Agustus, sebuah telegram kembali diterima di Singapura, "Anjer, Tjeringin, dan Telok Beting hancur lebur." Setengah jam kemudian kabar buruk kembali dikirim, "Mercusuar di Selat Sunda menghilang."
Berikutnya, telegram itu mengirim informasi lebih detail tentang gelombang laut setinggi 40 meter yang menghanyutkan terumbu karang seberat 600 ton ke daratan Anyer. Disebutkan, sedikitnya 36.417 orang tewas, sebagian besar karena gelombang tsunami, dan 165 desa hancur.
Berita yang cepat menyebar itu tak membuat warga Australia bagian selatan, Perth, Colombo, dan Rodriguez (sejauh 4.800 km), harus lama bertanya-tanya tentang suara gelegar letusan yang terdengar dari rumah mereka pada 27 Agustus. Demikian halnya warga dunia menjadi cepat tahu bahwa tsunami yang melanda pantai Sri Lanka dan perubahan tinggi permukaan air laut di Selandia Baru, Alaska dan Saluran Inggris pada hari itu adalah dampak Krakatau.
Para meteorolog dunia juga dengan cepat menghubungkan bahwa cuaca dingin yang terjadi sepanjang tahun 1883 hingga paruh pertama 1884 adalah berkat letusan Krakatau. Awan dari abu vulkanik naik ke atas mencapai ketinggian 50-80 km dan mengitari bumi dengan kecepatan jet beberapa kali.
Dampak letusan Tambora baru diketahui ketika peneliti di kantor meteorologi Amerika Serikat, WJ Humphreys, pada tahun 1930-an menemukan hubungan antara cuaca buruk di dunia Barat pada 1816 dan letusan Gunung Tambora. Adapun letusan Krakatau telah menjadi berita utama di koran-koran di Eropa tak lama kemudian.
Tsunami yang menyebar luas ke berbagai penjuru dunia pada 27 Agustus 1883 juga terdeteksi dengan cepat bahwa sumbernya Krakatau. Sepanjang tanggal 27 Agustus dan sehari setelahnya, telegram dari Batavia (Jakarta)—160 km dari Krakatau—berkali-kali dikirim ke Singapura. Dari sana kabar kemudian menyebar jauh hingga Inggris.
Bunyi telegram menyebutkan kepanikan suasana di Jakarta waktu itu. "Batavia saat ini hampir gelap gulita—lampu gas menyala sepanjang malam—tak dapat berkomunikasi dengan Anjer (Anyer)— beberapa jembatan hancur, sungai-sungai meluap karena gelombang laut yang menuju daratan," demikian isi telegram yang dikirim pada sore hari, 27 Agustus.
Kemudian, pukul 11.00 pada 28 Agustus, sebuah telegram kembali diterima di Singapura, "Anjer, Tjeringin, dan Telok Beting hancur lebur." Setengah jam kemudian kabar buruk kembali dikirim, "Mercusuar di Selat Sunda menghilang."
Berikutnya, telegram itu mengirim informasi lebih detail tentang gelombang laut setinggi 40 meter yang menghanyutkan terumbu karang seberat 600 ton ke daratan Anyer. Disebutkan, sedikitnya 36.417 orang tewas, sebagian besar karena gelombang tsunami, dan 165 desa hancur.
Berita yang cepat menyebar itu tak membuat warga Australia bagian selatan, Perth, Colombo, dan Rodriguez (sejauh 4.800 km), harus lama bertanya-tanya tentang suara gelegar letusan yang terdengar dari rumah mereka pada 27 Agustus. Demikian halnya warga dunia menjadi cepat tahu bahwa tsunami yang melanda pantai Sri Lanka dan perubahan tinggi permukaan air laut di Selandia Baru, Alaska dan Saluran Inggris pada hari itu adalah dampak Krakatau.
Para meteorolog dunia juga dengan cepat menghubungkan bahwa cuaca dingin yang terjadi sepanjang tahun 1883 hingga paruh pertama 1884 adalah berkat letusan Krakatau. Awan dari abu vulkanik naik ke atas mencapai ketinggian 50-80 km dan mengitari bumi dengan kecepatan jet beberapa kali.
Suhu udara menjadi lebih dingin akibat sinar matahari terhalang abu vulkanik lebih dari satu tahun lamanya di beberapa wilayah bumi. Volume material yang dikeluarkan diperkirakan sekitar 18-21 kilometer kubik yang terdiri dari 9-10 kilometer kubik batu-batu berat.
Letusan Krakatau merupakan bencana besar pertama di dunia yang terjadi setelah jaringan kabel telegraf menyambung di seluruh dunia. Dua belas tahun sejak Samuel Morse pada 24 Mei 1844 mengirimkan pesan pertama dari gedung Mahkamah Agung di Washington kepada koleganya Alfred Vail, di Baltimore, telegram sudah disambung ke istana besar di Buitenzorg ke kantor-kantor di Batavia.
Jawa kemudian terhubung ke dunia internasional sejak 1859, melalui Singapura, sehingga berita letusan Krakatau bisa dengan cepat menyebar luas.~kompas
0 comments:
Post a Comment